Jika Anda menonton sebuah film, yang terbayang ketika Anda ingin menggeluti dunia film adalah kata “mahal”. Produksi dengan menggunakan peralatan dengan teknologi serba mahal, apalagi jaman dahulu ketika hobi fotografi masih merupakan barang mahal yang hanya dimiliki oleh kaum borjuis. Kenapa dihubungkan antara fotografi dengan film adalah kerena film sebenarnya merupakan perkembangan dari dunia fotografi. Film adalah serangkaian gambar diam yang disusun secara berkesinambungan. Pada sejarahnya, gambar diam yang dimaksud adalah foto. 
Picture
foto sumber: http://ap304.wordpress.com/2010/03/07/asal-mula-film/
Sejarah film bermula dari suatu pertanyaan unik, “Apakah keempat kaki kuda pada suatu saat berada pada posisi melayang secara bersamaan ketika berlari?”. Untuk menjawab pertanyaan itu, tahun 1878 Edward Muybridge dari Standford University, Inggris, membuat serentetan 16 foto (frame) kuda yang sedang berlari. Kemudian, ketika foto kuda berlari tersebut dilihat secara berurutan dalam kecepatan tertentu terjadilah gerakan kuda berlari. Inilah gambar rekaman bergerak pertama yang diciptakan di dunia. Berdasarkan ciptaannya ini, Edward Muybridge disebut sebagai pencipta gambar rekaman bergerak/film pertama (motion picture). (Gerzon R. Ayawaila:2009)

Sudah dari sejarahnya, film (bergerak) tidak bisa dilepaskan dari foto (statis). Perkembangan teknologi dunia saat ini yang membuat hobi fotografi tak lagi hanya dikuasai kaum elit, bahkan sekarang hobi seni rekam cahaya ini dapat dinikmati hampir di setiap kalangan. Semakin “murah”nya dunia fotografi tidak terlepas dari perkembangan teknologi Digital yang memungkinkan fotografi tidak lagi menggunakan media rekam film (analog) melainkan disimpan dalam bentuk digital.

Digital berasal dari kata digitus, dalam bahasa yunani bararti jari jemari. Apabila kita hitung jari jemari orang dewasa, maka berjumlah sepuluh (10). Nilai sepuluh tersebut terdiri dari dua radix, yaitu 1 dan 0, oleh karena itu Digital merupakan penggambaran dari suatu keadaan bilangan yang terdiri dari angka 0 dan 1 atau off dan on (bilangan biner). Semua sitem komputer menggunakan sistem digital sebagai basis datanya. Dapat disebut juga dengan Bit (Binary Digit). (wikipedia)

Demikian pengertian digital seperti yang dituliskan dalam Wikipedia. Namun pengertian itu bagi para praktisi penciptaan seni yang memanfaatkan media digital, termasuk diantaranya fotografer dan videografer, hanya sebatas pengetahuan sebagai wawasan dalam berkarya. Mereka melihat pengertian digital lebih kepada kemudahan yang ditawarkan. Kemudahan yang akan berimpas pada penurunan biaya produksi tentunya.

Sebagai contoh adalah fotografi. Fotografi analog menggunakan rol film seluloid dalam merekam cahaya hasil proyeksi dari lensa. Hasil rekaman itu pun belum bisa kita nikmati seketika setelah proses pengambilan gambar. Rol film harus diproses di kamar gelap dengan bantuan beberapa bahan kimia dan memerlukan keahlian khusus untuk melakukannya. Namun apa yang terjadi ketika fotografi memasuki era digital. Tak ada lagi rol film, perannya digantikan oleh sensor perekam cahaya (CCD/CMOS). Sensor tersebut bekerja merubah sinyal cahaya (yang diproyeksikan oleh lensa) menjadi data digital (0 dan 1) yang kemudian diolah oleh prosessor canggih yang juga sudah tertanam dalam kamera tersebut. Bukan hal yang tidak mungkin lagi ketika seorang fotografer bisa menikmati hasil bidikannya seketika setelah proses pengambilan gambar, karena semua kamera digital talah menyertakan LCD preview.

Wabah digitalisasi tidak hanya menyerang dunia fotografi. Dunia film yang tak jauh dari fotografi mau tak mau juga terkena pengaruhnya. Mungkin efek transformasi dari dunia analog ke dunia digital bisa lebih mudah dipahami dengan gambar berikut:
Picture
Gambar 1
Picture
gambar 2
Picture
Gambar 3
Gambar pertama, adalah perbandingan media rekam film analog dan digital. Kamera film analog merekam gambar dengan media rol film seluloid. Secara fisik, rol film seluloid ukurannya sangat besar. Dari segi harga pun bisa dibilang sangat mahal. Film seluloid yang seharga sekitar 2 juta rupiah hanya bisa untuk merekam gambar bergerak dengan resolusi 4K sekitar 2-5menit (tergantung frame per second). Itupun masih harus ditambah biaya untuk cuci cetak rol film dan juga biaya-biaya lainnya. Sedangkan dengan kamera video digital, kita cukup hanya dengan menggunakan memory card yang sekarang ukuran fisiknya semakin kecil. Dengan memory card kapasitas 8GB, mampu merekam video resolusi FullHD 1080p dengan kompresi H.264 selama sekitar 25menit. Harga memory card 8GB berkisar antara 300-400ribu, itupun bisa diformat ulang dan digunakan kembali ketika kapasitas memory penuh. Bisa dibayangkan berapa biaya produksi yang bisa dipotong.  

Selain media penyimpanan, seperti yang nampak pada gambar nomor 2, bentuk kamera video digital pun semakin praktis. Ukurannya semakin mengecil yang berarti tingkat fleksibilitasnya semakin tinggi. Hal ini mau tak mau juga akan memangkas biaya produksi untuk peralatan pendukungnya. Sebagai contoh, untuk pengambilan gambar helishoot dengan kamera film, pembuat film membutuhkan helicopter sungguhan untuk merekam gambar dari atas. Berbeda jika kita menggunakan kamera video digital, dengan ukuran fisik yang semakin kecil dan praktis, pembuat film cukup menggunakan remote control/RC helicopter yang talah dimodifikasi untuk melakukan pengambilan gambar tersebut. Tak hanya itu, seperti gambar nomor 3 dan 4, peralatan audio recorder dan editing pun semakin praktis dan efisien.

Dari pemaparan diatas, ini berarti produksi film “skala rumahan” (home industry) sangat mungkin dilakukan. Industri film tak lagi hanya dikuasai pengusaha-pengusaha besar. Seniman film independent semakin leluasa dalam berkarya. Kualitas kamera video digital yang semakin memukau dan berusaha menyamai citra kamera film analog, semakin membuat film-film berbiaya murah hasil produksi “skala rumahan” ini tak nampak murahan.
Picture
(sumber foto: http://www.tawbaware.com/film_digital.htm)
Dari gambar diatas merupakan perbandingan hasil citra antara kamera film analog dengan kamera video digital. Perbedaan jelas nampak dari dua media perekaman tersebut. Citra digital lebih lembut dan terkesan halus yang berkesan kurang tajam. Citra film analog terlihat sangat tajam, namun memunculkan bintik-bintik yang disebut-sebut sebagai karakter khas film analog, organic noise. Banyak sekali perdebatan yang muncul dari kedua media ini, mana yang lebih baik? Jika disikapi secara bijak, sebenarnya dua media ini tidak untuk dibandingkan. Hal ini dikarenakan tiap format media memberikan ciri khas tersendiri di dalam penciptaan karya. Mungkin bisa diambil analogi dalam dunia seni lukis, mana yang lebih baik antara cat minyak atau cat air? Kita tak akan menemukan jawabannya. Bukan berarti cat air yang harganya lebih murah juga akan lebih buruk dari cat minyak. Tergantung karya apa yang akan kita cipta. Antara cat air dengan cat minyak jelas memiliki karakter tersendiri dalam penciptaan karya seni seperti halnya film dan digital.

Melihat gairah pasar di industri film format digital yang menggeliat, pengembang teknologi perekaman video digital pun semakin berinovasi dalam memproduksi produknya. Belakangan ini yang begitu populer adalah penggunakan kamera foto DSLR (Digital Single Lens Reflector) dalam perekaman video digital. Dimulai dari Canon yang menanamkan fasilitas perekaman video di kamera foto DSLR produksinya. Ukuran sensor kamera DSLR yang lebih besar dari ukuran sensor kamera video pada saat itu, membuat banyak kreator video yang beralih menggunakan DSLR. Semakin besar ukuran sensor yang dimiliki kamera, maka akan semakin baik kamera itu jika digunakan dalam kondisi minim cahaya (low light), dan bidang pandang yang dihasilkan dari kamera akan lebih luas.

Keuntungan merekam video dengan kamera DSLR antara lain: Pertama, high quality - Hampir setiap kamera DSLR menghasilkan video yang jernih dan kamera ini dapat merekam pada resolusi tinggi 1080p kualitas Full HD. Kedua, movie looks - kamera DSLR dapat menghasilkan tampilan bernuansa film. Ini berarti video yang dihasilkan akan terlihat seperti apa yang dilihat ketika pergi ke bioskop. Ketiga, kamera foto - kamera DSLR ini utamanya adalah kamera foto, yang berarti pengguna dapat dengan mudah bolak-balik antara modus video dan foto. Keempat, murah – jika dibanding kamera video dengan kualitas dan ukuran sensor yang sebanding, DSLR tergolong solusi kamera video murah. Kelima, praktis dan fleksibel – ukuran kamera ini yang terbilang kecil, membuat produksi video dengan kamera ini semakin ringkas, selain itu pilihan lensa yang beragam dan kemudahan berganti-ganti jenis lensa menjadi kelebihan tersendiri bagi para kreator (Philipbloom.net).

Setelah sekitar 2 tahun dunia video digital dimeriahkan oleh kemudahan yang ditawarkan kamera foto DSLR, produsen kamera video digital pun mulai memproduksi kamerea video bersensor besar (large sensor). Sony dengan F3, Panasonic dengan AF-101, Red dengan Red Scarlet, dan yang terakhir Canon meluncurkan produk terbarunya Canon C300 yang kabarnya mampu disandingkan dengan kamera film analog. Catatan Vincent Laforet dalam blog pribadinya (blog.vincentlaforet.com) ketika dipercaya Canon untuk mencoba kamera C300 ini sebelum dipasarkan, menyebutkan bahwa kamera yang rencananya akan dibandrol dengan harga sekitar 170 juta rupiah ini mempunyai karakter yang dianggap identik dengan hasil pencitraan kamera film analog. Baik dari segi ketajaman gambar maupun karakter organic noise yang dimiliki kamera film analog. Bahkan sudah banyak perbincangan yang mengatakan kemunculan kamera beresolusi 4K dari Canon ini merupakan awal kematian kamera film analog. Bagaimana tidak, dengan biaya produksi yang bisa dipangkas begitu besar, mampu menghasilkan kualitas gambar yang setara.

Terbukti saat ini sudah banyak film-film layar lebar dalam negeri dan luar negeri yang proses produksinya menggunakan kamera format digital. Bahkan kepopuleran DSLR sebagai kamera video juga telah diujicobakan di beberapa produksi film layar lebar, seperti film dalam negeri yang berjudul “Republik Twitter” karya Kuntz Agus yang diproduksi seluruhnya dengan menggunakan kamera DSLR Canon EOS 7D. Kamera DSLR Canon EOS 5D Mark II juga mengisi beberapa shot laga di film yang diangkat dari cerita komik terbitan Marvel yang berjudul "Captain America". Februari 2012 ini juga menjadi saksi kemampuan kamera DSLR dalam produksi layar lebar kelas dunia. Seperti yang heboh diberitakan, Film Hollywood berjudul "Act of Valor" diputar perdana di bulan itu. Film ini, menurut Shane Hurlbut, penata sinematografi dalam film ini, 75% materi film diambil dengan kamera DSLR Canon EOS 5D Mark II dan sisianya 25% diambil dengan kamera film.

New Media

Masalah industri film “skala rumahan” tidak hanya tentang masalah peralatan produksi. Media belajar sebagai referensi wawasan kreator film, sampai pada jalur distribusi film itu sendiri, merupakan kendala yang dialami dalam perkembangan industri independent ini. Pemain dalam industri “skala rumahan” ini adalah biasanya para kreator independent yang tak ingin dibatasi kreasinya oleh para pemilik modal.

Seiring perkembangan dunia digital, menggiring perkembangan teknologi ke era new media. New media atau media baru adalah istilah yang luas dalam studi media yang muncul di bagian akhir abad ke 20. Media baru memberikan kemungkinan on-demand akses ke konten kapan saja, dimana saja, pada setiap perangkat digital, serta umpan balik pengguna yang interaktif, partisipasi kreatif dan pembentukan masyarakat di sekitar konten media. Janji lain dari media baru adalah “demokratisasi” dari penerbitan, penciptaan, distribusi, dan konsumsi isi media. Asperk lain dari media baru adalah generasi real-time, dimana konten akan sulit untuk diatur (Wikipedia). Media baru mengandung teknologi yang memungkinkan interaksi digital.

Dalam pengertian itu, secara jelas bahwa dengan adanya media baru bisa berarti tidak ada jarak. Jarak disini bisa diartikan sederhana sebagai dimensi ruang dan waktu. Semua aktifitas dalam ruang dan waktu yang berbeda dapat diakses secara real-time di belahan dunia lain. Perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi global dewasa ini telah menelan berbagi dimensi ruang dan waktu tersebut. Lewat perkembangan berbagai bentuk teknologi informasi dan komunikasi di perkotaan modern yang bersifat segera, cepat dan virtual, maka interaksi (tatap muka) kini diambil alih oleh interaksi yang diperantarai oleh media (seperti komputer, internet, telepon seluler) (Pialang,2011). Di kota digital, interaksi dan komunikasi face to face telah diambil alih oleh komunikasi yang dimediasi oleh komputer (Computer Mediated Communication atau CMC).

Gambaran kota digital seperti yang dituliskan Yasraf Amir Piliang dalam bukunya yang berjudul Dunia yang Dilipat memang tidaklah salah. Realita yang dipaparkan Deni Oktofianto, seorang warga negara Indonesia yang menjadi sinematografer, kompositor dan motiongrapher profesional di Jerman, bahwa dalam perjalanan karir dan profesinya di Jerman tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan new media (internet). Dia menceritakan bahwa tahapan composting untuk sebuah film yang biasanya dikerjakan oleh beberapa kompositor. Rekan kerja sesama kompositor biasanya tersebar di beragam kota di Jerman. Mereka para kompositor selalu bekerja bersama dibawah arahan sutradara. Namun nyatanya mereka sangat jarang atau bahkan tidak pernah bertemu langsung antara satu dengan yang lainnya. Di dunia virtual mereka bertemu. Dengan program skype mereka melakukan teleconference, screen sharing pekerjaan di desktop mereka dan bahkan berbagi file materi untuk diedit. Dalam kehidupan nyata mereka selalu bekerja di dalam rumah mereka masing-masing yang saling berjauhan, tetapi di dunia virtual mereka terhubung. Mereka duduk dalam suatu ruang virtual untuk berdiskusi dan bekerja bersama. “Yah ketika kita dipekerjakan dalam sebuah project, tidak ada fee khusus untuk transportasi kita. Kalau kita harus bertemu terus-menerus, habislah fee kita untuk transportasi.”, jelas pria yang akrab dipanggil Rabbit ini.

Selain dalam proses produksi, keberadaan era new media ini juga dapat dimanfaatkan sebagai jalur distribusi film, utamanya film independent. Seperti yang telah dilakukan Ian Salim dan Elvira Kusno, pemilik rumah produksi cine et cetera. Pada tahun 2011, mereka memproduksi film pendek independent perdana mereka berjudul “Yours Truly”. Produksi film ini bisa dikatakan “skala rumahan” dengan memanfaatkan kamera DSLR dan peralatan produksi pendukung serba minimalis. Namun yang didapat dari produksi serba minimaslis ini ternyata mampu menggebrak dunia perfilman tanah air. Hasil film yang mengagumkan, jauh dari kesan minimalis, dan cara unik dalam distribusi filmnya. Film pendek berdurasi 16 menit ini di-launcing melalui media internet. Dengan strategi promosi yang bagus, dalam waktu singkat film ini telah menarik penonton sebanyak 20.000 lebih. “Yours Truly” menjadi perbincangan hangat di jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Kesuksesan film mereka di dunia virtual ternyata juga menjadi realitas di dunia nyata. Beberapa media cetak nasional dan international pun meng-ekspose kesuksesan film ini, seperti Media Indonesia yang meliputnya di dua edisi penerbitan, dan Cinemags serta NYLON Magazine.

Era digital dan new media ternyata telah menjadi surga baru bagi para sineas di dunia, termasuk Indonesia. Kemudahan dan semakin terjangkaunya fasilitas yang dibutuhkan dalam membangun industri film semakin membuat geliat perfilman bangkit. Film tidak lagi dikuasai oleh para pemilik modal besar. Festifal-festifal film independet saat ini telah mampu mengumpulkan film-film dengan pencapaian teknis yang tak kalah dengan film komersial berbiaya mahal, walaupun keberadaan era digital dan new media ini tidak hanya membawa dampak positif saja. Kemunculanya juga tidak terlepas dari efek negatif yang ikut dibawa. Nah, sekarang pilihan ada pada kreator dan seniman itu sendiri. Apakah mereka ingin melihat era baru ini sebagai terobosan atau malah kemunduran? (Novian Anata Putra/ Researcher at Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia/ freelance videographer)

Referensi: 
Ayawaila, Gerzon R. 2009. “Dokumenter, dari Ide sampai Produksi”. Jakarta: FFTV-IKJ Press
Pialang, Yasraf Amir. 2010. “ Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan”. Bandung: Matahari.
http://blog.vincentlaforet.com/
http://philipbloom.net
http://www.wikipedia.org/



Leave a Reply.

    Author

    I'm an Indonesian male, 24 years old with 3 years experience in freelance videography. I am also a researcher at Kemkominfo. Problem solver, quick learner, hard worker, I can work as a team or independent. 

    Archives

    October 2012
    June 2012
    April 2012
    March 2012
    February 2012
    January 2012
    October 2011
    September 2011

    Categories

    All

    COPYRIGHT NOTICE
    All work within this site: written, images or video are copyright of Novian Anata Putra unless noted otherwise and cannot be reproduced without the express permission of the owner.